“saung angklung udjo
Artikel Terkait saung angklung udjo
- Pantai Pangandaran
- Desa Wisata Sawarna
- Wisata Kota Tua Cirebon
- Wisata Puncak Bogor
- Museum Geologi Bandung
Pengantar
Dengan penuh semangat, mari kita telusuri topik menarik yang terkait dengan saung angklung udjo. Ayo kita merajut informasi yang menarik dan memberikan pandangan baru kepada pembaca.
Table of Content
Video tentang saung angklung udjo
Saung Angklung Udjo: Harmoni Bambu, Pelestarian Budaya, dan Jendela Dunia
Pendahuluan: Lebih dari Sekadar Pertunjukan Angklung
Di tengah hiruk pikuk modernitas Kota Bandung, tersembunyi sebuah oase budaya yang tak lekang oleh waktu, Saung Angklung Udjo (SAU). Tempat ini bukan sekadar panggung pertunjukan musik tradisional, melainkan sebuah pusat pelestarian, pendidikan, dan pengembangan seni angklung yang telah mendunia. Sejak didirikan oleh pasangan Udjo Ngalagena dan Uum Sumiati pada tahun 1966, SAU telah menjadi denyut nadi yang menjaga agar simfoni bambu tetap bergaung, menginspirasi jutaan orang dari berbagai penjuru dunia. SAU adalah perwujudan nyata dari filosofi "cinta kasih kepada alam dan sesama" yang diwujudkan melalui alat musik bambu, menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, serta menjadi duta budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.
Sejarah dan Filosofi Pendirian: Jejak Udjo Ngalagena
Kisah Saung Angklung Udjo tak bisa dilepaskan dari sosok karismatik pendirinya, Udjo Ngalagena, yang akrab disapa Mang Udjo. Lahir di Bandung pada tahun 1929, Mang Udjo adalah seorang seniman otodidak yang memiliki kecintaan mendalam terhadap angklung sejak usia muda. Ia tumbuh besar di tengah lingkungan yang kaya akan seni Sunda, dan angklung telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Namun, pada masa itu, angklung mulai terpinggirkan, dianggap sebagai alat musik kuno yang kurang relevan. Mang Udjo merasa terpanggil untuk menghidupkan kembali dan melestarikan warisan budaya ini.
Bersama istrinya, Uum Sumiati, yang juga seorang seniman dan pendidik, Mang Udjo mendirikan Saung Angklung Udjo di sebuah lahan sederhana di Jalan Padasuka, Bandung. Awalnya, tempat ini hanyalah sebuah gubuk bambu kecil tempat mereka mengajar anak-anak sekitar untuk bermain angklung. Filosofi yang diusung Mang Udjo sangat sederhana namun mendalam: "Kaulinan Urang Lembur" (Permainan Orang Desa) dan "Belajar Sambil Bermain". Ia percaya bahwa pendidikan terbaik adalah melalui pengalaman yang menyenangkan, dan angklung adalah media yang sempurna untuk itu. Ia tidak hanya mengajarkan teknik bermain angklung, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, disiplin, kesabaran, dan cinta terhadap lingkungan.
Mang Udjo memiliki visi bahwa angklung tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana pembentukan karakter. Ia melihat potensi angklung sebagai alat pendidikan yang efektif, mampu mengembangkan motorik halus, koordinasi, dan kemampuan sosial anak-anak. Dengan dedikasi yang tak tergoyahkan, Mang Udjo dan Uum Sumiati bekerja keras, seringkali tanpa imbalan materi, demi mewujudkan mimpi mereka. Dari gubuk bambu sederhana, SAU perlahan tumbuh menjadi pusat seni yang diakui, menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Mang Udjo berpulang pada tahun 2001, namun warisan dan semangatnya terus hidup melalui anak-anak dan cucu-cucunya yang kini mengelola SAU.
Angklung: Instrumen, Sejarah, dan Pengakuan Dunia
Untuk memahami Saung Angklung Udjo secara utuh, penting untuk mengenal angklung itu sendiri. Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional terbuat dari bambu, berasal dari masyarakat Sunda di Jawa Barat. Setiap angklung hanya menghasilkan satu nada, sehingga untuk memainkan sebuah melodi atau akor, diperlukan kerja sama beberapa orang yang masing-masing memegang angklung dengan nada berbeda. Cara memainkannya adalah dengan digoyangkan (digetarkan), menghasilkan suara yang khas dan merdu.
Sejarah angklung di Indonesia sudah sangat panjang, jauh sebelum masa kolonial. Angklung diyakini telah digunakan sejak abad ke-5 Masehi sebagai alat musik ritual dalam upacara-upacara pertanian yang berkaitan dengan Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan. Pada masa kerajaan Sunda, angklung juga digunakan sebagai alat musik pengiring upacara dan hiburan. Pada masa penjajahan Belanda, angklung sempat dilarang karena dianggap dapat membangkitkan semangat perlawanan rakyat. Namun, semangat para seniman dan pegiat budaya seperti Mang Udjo berhasil menjaga angklung tetap hidup dan berkembang.
Puncak pengakuan dunia terhadap angklung datang pada tanggal 18 November 2010, ketika UNESCO secara resmi menetapkan angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Takbenda Manusia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia. Pengakuan ini tidak hanya mengangkat martabat angklung di mata dunia, tetapi juga menjadi dorongan besar bagi upaya pelestarian dan pengembangannya, di mana Saung Angklung Udjo memainkan peran sentral. Filosofi di balik angklung – yaitu kebersamaan, harmoni, dan saling melengkapi – sangat relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Pengalaman di Saung Angklung Udjo: Sebuah Perjalanan Interaktif
Mengunjungi Saung Angklung Udjo adalah pengalaman yang tak terlupakan, jauh melampaui sekadar menonton pertunjukan. Ini adalah perjalanan interaktif yang membenamkan pengunjung dalam kekayaan budaya Sunda.
Setibanya di SAU, pengunjung akan disambut dengan suasana yang asri dan alami. Bangunan-bangunan didominasi oleh material bambu, menciptakan kesan tradisional yang hangat. Sebelum pertunjukan utama dimulai, pengunjung dapat menjelajahi area sekitar, melihat proses pembuatan angklung di bengkel, atau membeli oleh-oleh khas.
Pertunjukan utama biasanya dimulai pada sore hari dan berlangsung sekitar dua jam. Urutan pertunjukan dirancang secara cermat untuk memberikan pengalaman yang menyeluruh:
- Wayang Golek: Pertunjukan dibuka dengan cuplikan singkat wayang golek, boneka kayu khas Sunda, yang memperkenalkan pengunjung pada salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional lainnya.
- Helaran: Anak-anak dari SAU, yang merupakan murid-murid Mang Udjo dan generasi penerusnya, tampil dengan riang gembira membawakan tarian dan lagu-lagu tradisional Sunda. Segmen ini menunjukkan bakat alami dan semangat anak-anak dalam melestarikan budaya.
- Arumba: Angklung tidak hanya dimainkan secara tradisional. SAU juga menampilkan arumba, sebuah ansambel musik yang memadukan angklung dengan alat musik bambu lainnya seperti calung dan gambang, menghasilkan melodi yang lebih modern dan dinamis.
- Angklung Orkestra: Ini adalah puncak pertunjukan. Para pemain angklung dewasa dan anak-anak membentuk sebuah orkestra yang memainkan berbagai genre musik, mulai dari lagu-lagu tradisional Sunda, lagu-lagu daerah Indonesia lainnya, hingga lagu-lagu pop dan klasik internasional. Kemampuan mereka dalam memainkan melodi yang kompleks dengan hanya satu nada per angklung sungguh menakjubkan dan menunjukkan tingkat koordinasi serta harmoni yang luar biasa.
- Interaksi dengan Penonton: Inilah bagian yang paling dinanti dan membedakan SAU dari pertunjukan lainnya. Setiap penonton diberikan sebuah angklung dan diajarkan cara memainkannya secara sederhana. Dengan bimbingan dari para pemandu, seluruh penonton yang terdiri dari ratusan orang secara bersamaan memainkan sebuah lagu, menciptakan simfoni angklung raksasa yang merdu. Momen ini sangat magis, menunjukkan bagaimana angklung dapat menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, menciptakan rasa kebersamaan dan kegembiraan yang luar biasa.
- Menari Bersama: Pertunjukan ditutup dengan sesi menari bersama. Para pemain SAU mengajak penonton untuk naik ke panggung dan menari tarian tradisional Sunda. Suasana menjadi sangat akrab, penuh tawa, dan kebahagiaan.
Selama pertunjukan, seorang pemandu yang fasih berbahasa Indonesia dan Inggris (serta seringkali bahasa lain) akan menjelaskan setiap segmen, memberikan informasi tentang sejarah angklung, filosofi SAU, dan cerita-cerita menarik lainnya. Humor dan keramahan para pemandu menambah kehangatan suasana.
Peran Saung Angklung Udjo dalam Pelestarian Budaya dan Pendidikan
Saung Angklung Udjo bukan hanya destinasi wisata, melainkan sebuah institusi yang memiliki peran krusial dalam pelestarian dan pengembangan budaya Indonesia:
- Pusat Pelestarian Angklung: SAU secara aktif menjaga keberlangsungan seni angklung, baik dari segi teknik pembuatan, cara bermain, maupun repertori lagu. Mereka tidak hanya memainkan angklung, tetapi juga meneliti dan mendokumentasikan berbagai jenis angklung dan tradisi musik bambu lainnya. Bengkel pembuatan angklung di SAU adalah bukti komitmen mereka untuk menjaga keterampilan tradisional ini tetap hidup.
- Lembaga Pendidikan Non-Formal: Sejak awal, SAU berfungsi sebagai sekolah non-formal bagi anak-anak dan remaja. Mereka dilatih tidak hanya dalam bermain angklung, tetapi juga dalam seni tari, menyanyi, dan pertunjukan panggung. Pendidikan di SAU tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga pada pembentukan karakter, penanaman nilai-nilai moral, dan pengembangan rasa cinta terhadap budaya sendiri. Banyak dari anak-anak yang tampil di SAU berasal dari keluarga kurang mampu, dan SAU memberikan mereka kesempatan untuk belajar, berekspresi, dan bahkan mendapatkan penghasilan
Penutup
Dengan demikian, kami berharap artikel ini telah memberikan wawasan yang berharga tentang saung angklung udjo. Kami berharap Anda menemukan artikel ini informatif dan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel kami selanjutnya!